Selasa, 04 April 2017

makalah sianida

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keracunan akut terjadi lebih dari sejuta kasus dalam setiap tahun, meskipun hanya sedikit yang fatal. Keracunan tidak akan menjadi fatal jika korban mendapat perawatan medis yang cepat dan perawatan suportif yang baik. Pengelolaan yang tepat, baik dan hati-hati pada korban yang keracunan menjadi titik penting dalam menangani korban.
Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan. Sianida telah digunakan sejak ribuan tahun yang lalu. Sianida juga banyak digunakan pada saat perang dunia pertama. Efek dari sianida ini sangat cepat dan dapat mengakibatkan kematian dalam jangka waktu beberapa menit.
Hidrogen sianida disebut juga formonitrile, sedang dalam bentuk cairan dikenal sebagai asam prussit dan asam hidrosianik. Hidrogen sianida adalah cairan tidak berwarna atau dapat juga berwarna biru pucat pada suhu kamar. Bersifat volatile dan mudah terbakar. Hidrogen sianida dapat berdifusi baik dengan udara dan bahan peledak.Hidrogen sianida sangat mudah bercampur dengan air sehingga sering digunakan. Bentuk lain ialah sodium sianida dan potassium sianida yang berbentuk serbuk dan berwarna putih.
Sianida dalam dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap produk yang biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh bakteri, jamur dan ganggan. Sianida juga ditemukan pada rokok, asap kendaraan bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung tapioka dan singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik. Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan garam seperti natrium, kalium atau kalsium sianida. Sianida yang digunakan oleh militer NATO (North American Treaty Organization) adalah yang jenis cair yaitu asam hidrosianik (HCN).
Gejala yang ditimbulkan oleh zat kimia sianida ini bermacam-macam; mulai dari rasa nyeri pada kepala, mual muntah, sesak nafas, dada berdebar, selalu berkeringat sampai korban tidak sadar dan apabila tidak segera ditangani dengan baik akan mengakibatkan kematian. Penatalaksaan dari korban keracunan ini harus cepat, karena prognosis dari terapi yang diberikan juga sangat tergantung dari lamanya kontak dengan zat toksik tersebut.

B. Rumusan masalah
1. Untuk mengetahui gejala klinis terkena sianida 
2. Untuk mengetahui pengobatan sianida secara Farmakologi dan Non Farmakologi


BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Keracunan Sianida
Bahan kimia beracun didefinisikan sebagai bahan kimia yang dalam jumlah kecil menimbulkan keracunan pada manusia atau mahluk hidup lainnya. Umumnya zat-zat toksik masuk lewat pernapasan atau kulit, kemudian beredar ke seluruh tubuh atau ke organ-organ tertentu. Bahan kimia tersebut dapat langsung mengganggu organ-organ tubuh tertentu, seperti paru-paru, hati, dan lain-lain.
Untuk menentukan klasifikasi racun berdasarkan tingkat daya racunnya ditentukan dengan besarnya LD50 (Lethal Dose 50). LD50 adalah besarnya dosis racun yang diberikan kepada binatang percobaan yang mengakibatkan ½ (50%) dari binatang tersebut mati.  Berdasarkan LD50 klasifikasi racun dapat dibagi (mg/kg) sebagai berikut (ILO, 1991):
Tingkat I
Supertoxic
 > 1
Tingkat II
Extremely oxic
1 - 5  
Tingkat III
Highly toxic
5 - 50 
Tingkat IV
Moderately toxic
50 - 500   
Tingkat V
Slighly toxic
500  - 5000
Tingkat VI
Practically non toxic
5000 -  15000 
        




Secara ringkas klasifikasi keracunan dibedakan sebagai berikut (Purwandari, 2006) :
ü Menurut cara terjadinya:
a. Self poisoning
Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tidak membahayakan. Self poisoning biasanya terjadi karena kekurang hati-hatian dalam penggunaan. Kasus ini bisa terjadi pada remaja yang ingin coba-coba menggunakan obat, tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat membahayakan dirinya.
b. Attempted poisoning
Dalam kasus ini, pasien memang ingin bunuh diri, tetapi bisa berakhir dengan kematian atau pasien sembuh kembali karena salah tafsir dalam penggunaan dosis.
c. Accidental poisoning
Kondisi ini jelas merupakan suatu kecelakaan tanpa adanya unsur kesengajaan sama sekali. Kasus ini banyak terjadi pada anak di bawah 5 tahun, karena kebiasaannya memasukkan segala benda ke dalam mulut.
d. Homicidal piosoning
Keracunan ini terjadi akibat tindak kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni seseorang.
ü Menurut waktu terjadinya keracunan
1. Keracunan  kronis
Diagnosis keracunan ini sulit dibuat, karena gejala timbul perlahan dan lama sesudah pajanan. Gejala dapat timbul secara akut setelah pemajanan berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil.
2. Keracunan akut
Keracunan jenis ini lebih mudah dipahami, karena biasanya terjadi secara mendadak setelah makan atau terkena sesuatu. Selain itu keracunan jenis ini biasanya terjadi pada banyak orang (misal keracunan makanan, dapat mengenai seluruh anggota keluarga atau bahkan seluruh warga kampung). Pada keracunan akut biasanya mempunyai gejala hampir sama dengan sindrom penyakit, oleh karena itu harus diingat adanya kemungkinan  keracunan  pada sakit mendadak.
ü Menurut alat tubuh yang terkena
1. Keracunan digolongkan menurut organ tubuh yang terkena, misal racun pada SSP, racun jantung, racun hati, racun ginjal dan sebagainya. Suatu organ cenderung dipengaruhi oleh banyak obat, sebaliknya jarang terdapat obat yang mempengaruhi /mengenai satu organ saja.
Senyawa Beracun Sianida
Hidrogen sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Sianida sering dijumpai di dalam kacang almond (Nio, 1989). Sianida yang berasal dari alam (amigdalin dan glikosida sinogenik lainnya) dapat ditemukan dalam biji aprikot, singkong, dan banyak tanaman lainnya, beberapa diantaranya dapat berguna, tergantung pada keperluan ethnobotanikal. Acetonitrile, sebuah komponen pada perekat besi, dapat menyebabkan kematian pada   anak-anak (Olson, 2007). Keracunan hidrogen sianida dapat menyebabkan kematian, dan pemaparan secara sengaja dari sianida (termasuk garam sianida) dapat menjadi alat untuk melakukan pembunuhan ataupun bunuh diri (Olson, 2007).
Akibat racun sianida tergantung pada jumlah paparan dan cara masuk tubuh, lewat pernapasan atau pencernaan. Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak. Paparan dalam jumlah kecil mengakibatkan napas cepat, gelisah, pusing, lemah, sakit kepala, mual dan muntah serta detak jantung meningkat. Paparan dalam jumlah besar menyebabkan kejang, tekanan darah rendah, detak jantung melambat, kehilangan kesadaran, gangguan paru serta gagal napas hingga korban meninggal (Utama, 2006).
Takaran atau dosis sianida (Olson 2007 & Meredith 1993) :
a. Dosis letal dari sianida adalah : asam hidrosianik sekitar 2,500–5,000 mg.min/m3, dan untuk sianogen klorida sekitar 11,000 mg.min/m3.
b. Terpapar hidrogen sianida meskipun dalam tingkat rendah (150-200 ppm) dapat berakibat fatal. Tingkat udara yang diperkirakan dapat membahyakan hidup atau kesehatan adalah 50 ppm. Batasan HCN yang direkomendasikan pada daerah kerja adalah 4.7 ppm (5 mg/m3 untuk garam sianida). HCN juga dapat diabsorpsi melalui kulit.
c. Ingesti pada orang dewasa sebanyak 200 mg sodium atau potassium sianida dapat berakibat fatal. Larutan dari garam sianida dapat diabsorpsi melalui kulit.
Masuknya Senyawa Sianida ke Tubuh
Jalur masuk sianida atau bahan kimia umumnya ke dalam tubuh berbeda menurut situasi paparan.  Metode kontak dengan racun secara umum melalui cara berikut:
a. Melalui mulut karena tertelan (ingesti).
Sebagian keracunan terjadi melalui jalur ini anak-anak sering menelan racun secara tidak sengaja dan orang dewasa terkadang bunuh diri dengan menelan racun. Saat racun tertelan dan mulai mencapai lambung, racun dapat melewati dinding usus dan masuk kedalam pembuluh darah, semakin lama racun tinggal di dalam usus maka jumlah yang masuk ke pembuluh darah juga semakin besar dan keracunan yan terjadi semakin parah (Henry, 1997).
b. Melalui paru-paru karena terhirup melalui mulut atau hidung (inhalasi)
Racun yang berbentuk gas, uap, debu, asap atau spray dapat terhirup melalui mulut dan hidung dan masuk ke paru-paru. Hanya partikel-partikel yang sangat kecil yang dapat melewati paru-paru. Partikel-partikel yang lebih besar akan tertahan dimulut, tenggorokan dan hidung dan mungkin dapat tertelan. (Henry, 1997).
c. Melalui kulit yang terkena cairan atau spray
Orang yang bekerja dengan zatzat kimia seperti pestisida dapat teracuni jika zat kimia tersemprot atau terciprat ke kulit mereka atau jika pakaian yang mereka pakai terkena pestisida. Kulit merupakan barier yang melindungi tubuh dari racun, meskipun beberapa racun dapat masuk melalui kulit (Henry, 1997).

B. ETIOLOGI
Menghirup asap, menelan, dan pajanan industri adalah sumber yang paling sering dari keracunan sianida.
a. Menghirup asap
Menghirup asap selama kebakaran industri atau rumah adalah sumber utama dari keracunan sianida di Amerika Serikat. Individu dengan menghirup asap dari kebakaran di ruang tertutup, kemudian pasien menunjukkan adanya jelaga di mulut atau hidung atau saluran napas, adanya perubahan status mental, atau hipotensi dapat diduga memiliki keracunan sianida yang signifikan (konsentrasi sianida darah> 40 mmol / L atau sekitar 1 mg / L).
Banyak senyawa yang mengandung nitrogen dan karbon dapat menghasilkan gas hidrogen sianida (HCN) ketika dibakar. Beberapa senyawa alami (misalnya, wol, sutra) menghasilkan HCN sebagai produk pembakaran. Plastik rumah tangga (misalnya, melamin di piring, akrilonitril dalam cangkir plastik), busa poliuretan di bantal furniture, dan banyak senyawa sintetis lainnya dapat menghasilkan konsentrasi mematikan dari sianida ketika dibakar di bawah kondisi yang sesuai dengan konsentrasi oksigen dan suhu.
b. Keracunan yang disengaja
Sianida konsumsi adalah cara yang biasa, namun efektif, bunuh diri. [15] kasus ini biasanya melibatkan perawatan kesehatan dan laboratorium pekerja yang memiliki akses ke garam sianida ditemukan di rumah sakit dan laboratorium penelitian.


c. Paparan industri
Sumber-sumber industri yang mengandung sianida tak terhitung jumlahnya. Sianida digunakan terutama dalam perdagangan logam, pertambangan, manufaktur perhiasan, pencelupan, fotografi, dan pertanian. Proses industri tertentu yang melibatkan sianida termasuk logam pembersihan, reklamasi, atau pengerasan; pengasapan; electroplating; dan pengolahan foto. Selain itu, industri menggunakan sianida dalam pembuatan plastik, sebagai perantara reaktif dalam sintesis kimia, dan pelarut (dalam bentuk nitril).
Paparan garam dan sianogen kadang-kadang menyebabkan keracunan; Namun, risiko yang signifikan untuk beberapa korban terjadi ketika produk ini datang ke dalam kontak dengan asam mineral karena adanya gas HCN. Sebuah insiden korban massal dapat berkembang pada kecelakaan industri di mana sianogen klorida kontak dengan air (misalnya, selama proses pemadaman kebakaran). Kontainer sianogen klorida dapat pecah atau meledak jika terkena panas tinggi atau tersimpan terlalu lama.
d. Paparan iatrogenik
Vasodilator natrium nitroprusside, bila digunakan dalam dosis tinggi atau selama periode hari, dapat menghasilkan konsentrasi beracun untuk sianida di darah. Pasien dengan cadangan tiosulfat rendah (misalnya pasien kurang gizi, atau pasien  pascaoperasi) berada pada peningkatan risiko untuk terkena keracunan sianida, bahkan meskipun diberikan pada dosis terapi. Pasien awalnya mengalami kebingungan dan kemudian dirawat unit perawatan intensif (ICU). Masalah dapat dihindari dengan pemberian hydroxocobalamin atau natrium tiosulfat.
e. Konsumsi Tanaman atau Makanan yang Mengandung Sianida
Konsumsi suplemen yang mengandung sianida memang jarang. Amygdalin (laetrile sintetis, juga dipasarkan sebagai vitamin B-17), yang berisi sianida, mendalilkan memiliki sifat antikanker karena aksi sianida pada sel kanker. Namun, laetrile tidak menunjukkan aktivitas antikanker dalam uji klinis pada manusia pada tahun 1980 dan pada akhirnya tidak dijual secara medis, meskipun dapat dibeli di Internet oleh pihak-pihak yang mengiklankan tanpa berbasis ilmiah.
Amygdalin dapat ditemukan pada banyak buah-buahan, seperti aprikot dan pepaya; dalam kacang-kacangan mentah; dan pada tanaman seperti kacang, semanggi, dan sorgum. Amygdalin dapat dihidrolisis menjadi hidrogen sianida, dan menelan jumlah besar makanan tersebut dapat mengakibatkan keracunan.

C. PATOFISIOLOGI
Paparan sianida paling sering terjadi melalui inhalasi atau menelan, tapi sianida cair dapat diserap melalui kulit atau mata. Setelah diserap, sianida memasuki aliran darah dan didistribusikan dengan cepat ke seluruh organ dan jaringan tubuh. Di dalam sel, sianida menempelkan metaloenzim di mana-mana, membuat sel tidak aktif. Ini adalah inti pokok hasil toksisitas dari inaktivasi sitokrom oksidase (di sitokrom a3), sehingga menghambat fosforilasi oksidatif mitokondria dan menghambat respirasi seluler, bahkan ketika tubuh memiliki asupan oksigen yang memadai. Pergeseran metabolisme dari aerobik untuk anaerobik akan memproduksi asam laktat. Akibatnya, jaringan dengan kebutuhan oksigen tertinggi (otak dan jantung) akan sangat dipengaruhi oleh keracunan sianida akut, yang akan berefek kejang dan henti jantung.
LCt50 (konsentrasi zat dan waktu untuk membunuh 50% sel kelompok yang terpapar) untuk hidrogen sianida adalah 2500-5000 mg/ min / m3. Pajanan uap dalam konsentrasi tinggi (pada atau di atas LCt50) biasanya dapat menyebabkan kematian dalam 6-8 menit. Dosis oral yang mematikan dari HCN diperkirakan sebesar 50 mg dan dosis oral mematikan dari garam sianida diperkirakan 100-200 mg. Untuk pajanan kulit, LD50 (dosis yang mampu membunuh 50% dari kelompok terpapar) diperkirakan 100 mg / kg.
Cyanogen klorida digunakan dalam pertambangan dan logam, dan dengan demikian dapat menjadi penyebab dalam kecelakaan industri. Dengan sifat klorin, sianogen klorida menyebabkan iritasi pada mata dan saluran pernapasan dan toksisitas paru yang berpotensi sama untuk gas klorin atau fosgen. Dalam konsentrasi tinggi (misalnya, di ruang tertutup), agen ini cepat bertindak dan mematikan, menyebabkan kematian dalam waktu 6-8 menit jika terhirup pada dosis pada atau di atas LCt50 nya yaitu 11.000 mg / min / m3.
Sianida merusak metabolisme karena kekurangan rodanese sehingga dapat menjadi penjelasan ke perkembangan atrofi optik, yang mengarah ke kebutaan subakut. Sianida juga dapat menyebabkan beberapa efek buruk yang terkait dengan merokok kronis, seperti amblyopia karena tembakau.

D. MEKANISME
Mekanisme dalam tubuh
Sianida bereaksi melalui hubungan dengan atom besi ferri dari sitokrom oksidase sehingga mencegah pengambilan oksigen untuk pernafasan sel. Sianida tidak dapat disatukan langsung dengan hemoglobin, tapi dapat disatukan oleh intermediary compound methemoglobin.
Apabila methemoglobin tidak dapat mengangkut cukup oksigen maka molekul hemoglobin menjadi tidak berfungsi. Produksi methemoglobinemia lebih dari 50% dapat berpotensi fatal. Methemoglobinemia yang berlebih dapat dibalikkan dengan metilen biru, terapi yang digunakan pada methemoglobinemia, dapat menyebabkan terlepasnya kembali ion sianida mengakibatkan keracunan sianida (Gambar 1). Sianida bergabung dengan methemoglobin membentuk sianmethemoglobin. Sianmethemoglobin berwarna merah cerah, berlawanan dengan methemoglobin yang berwarna coklat (Meredith, 1993).
Sianida merupakan inhibitor nonspesifik enzim, meliputi asam suksinat dehidrogenase, superoksida dismutase, karbonat anhidrase, sitokrom oksidase, dan lain sebagainya. Oksidase merupakan enzim yang berperan mengkatalisis Hidrogen yang ada dalam substrat dengan hasil berupa H2O dan H2O2. Enzim ini berfungsi sebagai akseptor ion Hidrogen, banyak terdapat dalam mioglobin, hemoglobin, dan sitokrom lain.
Enzim dehidrogenase berperan sebagai pemindah ion Hidrogen dari substrat satu ke substrat berikutnya dalam reaksi redoks couple. Contoh lainnyanya ialah penggunaan enzim dehidrogenase dalam pemindahan electron di membrane dalam mitokondria, siklus Kreb, dan glikolisis fase anaerob. Enzim ini tidak menggunakan Oksigen sebagai akseptor ion Hidrogen.
Sianida memiliki afinitas tinggi terhadap  ion besi pada sitokrom oksidase, metalloenzim respirasi oksidatif akhir pada mitokondria. Fungsinya dalam rantai transport elektron dalam mitokondria, mengubah produk katabolisme glukosa menjadi ATP. Enzim ini merupakan katalis utama yang berperan pada penggunaan oksigen di jaringan. Sianida menyebabkan hipoksida seluler dengan menghambat sitokrom oksidase pada bagan sitokrom a3 dari rantai transport elektron. Ion hidrogen yang secara normal akan bergabung dengan oksigen pada ujung rantai tidak lagi tergabung (incorporated). Hasilnya, selain persediaan oksigen kurang, oksigen tidak bisa digunakan, dan molekul ATP tidak lagi dibentuk. Ion hidrogen incorporated terakumulasi sehingga menyebabkan acidemia (Meredith, 1993). Berikut skema pengmabilan elektron, misalnya hidrogen (electron robbing) dan kerusakan oleh radikal bebasnya.
Sianida dapat menyebabkan sesak pada bagian dada,  mekanismenya yaitu berikatan dengan sitokrom oksidase, dan kemudian memblok penggunaan oksigen secara aerob. Sianida yang tidak berikatan akan didetoksifikasi melalui metabolisme menjadi tiosianat yang merupakan senyawa yang lebih nontoksik yang akan diekskresikan melalui urin (Olson, 2007). Hiperlaktamia terjadi pada keracunan sianida karena kegagalan metabolisme energi aerob. Selama kondisi aerob, ketika rantai transport elektron berfungsi, laktat diubah menjadi piruvat oleh laktat dehidrogenase mitokondria. Fungsi utama mitokondria adalah memproduksi energi kimia dalam bentuk molekul ATP yang akan dipergunakan sel-sel tubuh.
Bila komponen kunci rantai  respirasi dalam mitokondria hilang atau rusak maka akan terjadi proses berkelanjutan  yang tidak terkendali. Beberapa sindrom mitokondrial dapat disebabkan oleh berbagai  perubahan tingkat molekuler yang dapat berupa mutasi dan delesi dari DNA mitokondria.
Pada proses ini, laktat menyumbangkan gugus hidrogen yang akan mereduksi nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) menjadi NADH. Piruvat kemudian masuk dalam siklus asam trikarboksilat dengan menghasilkan ATP. Ketika sitokrom a3 dalam rantai transport elektron dihambat oleh sianida, terdapat kekurangan relatif NAD dan dominasi NADH, menunjukkan reaksi balik, sebagai contoh : piruvat dirubah menjadi laktat (Meredith, 1993).

E. GEJALA KLINIS
Efek utama dari racun sianida adalah timbulnya hipoksia jaringan yang timbul secara progresif. Gejala dan tanda fisik yang ditemukan sangat tergantung dari;
· Dosis sianida
· Banyaknya paparan
· Jenis paparan
· Tipe komponen dari sianida
Sianida dapat menimbulkan banyak gejala pada tubuh, termasuk pada tekanan darah, penglihatan, paru, saraf pusat, jantung, sistem endokrin, sistem otonom dan sistem metabolisme. Biasanya penderita akan mengeluh timbul rasa pedih dimata karena iritasi dan kesulitan bernafas karena mengiritasi mukosa saluran pernafasan. Gas sianida sangat berbahaya apabila terpapar dalam konsentrasi tinggi. Hanya dalam jangka waktu 15 detik tubuh akan merespon dengan hiperpnea, 15 detik setelah itu sesorang akan kehilangan kesadarannya. 3 menit kemudian akan mengalami apnea yang dalam jangka waktu 5-8 menit akan mengakibatkan aktifitas otot jantung terhambat karena hipoksia dan berakhir dengan kematian.
Dalam konsentrasi rendah, efek dari sianida baru muncul sekitar 15-30 menit kemudian, sehingga masih bisa diselamatkan dengan pemberian antidotum.
Tanda awal dari keracunan sianida adalah;
· Hiperpnea sementara,
· Nyeri kepala,
· Dispnea
· Kecemasan
· Perubahan perilaku seperti agitasi dan gelisah
· Berkeringat banyak, warna kulit kemerahan, tubuh terasa lemah dan vertigo juga dapat muncul.
Tanda akhir sebagai ciri adanya penekanan terhadap CNS adalah koma dan dilatasi pupil, tremor, aritmia, kejang-kejang, koma penekanan pada pusat pernafasan, gagal nafas sampai henti jantung, tetapi gejala ini tidak spesifik bagi mereka yang keracunan sianida sehingga menyulitkan penyelidikan apabila penderita tidak mempunyai riwayat terpapar sianida.
Karena efek racun dari sianida adalah memblok pengambilan dan penggunaan dari oksigen, maka akan didapatkan rendahnya kadar oksigen dalam jaringan. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat warna merah terang pada arteri dan vena retina karena rendahnya penghantaran oksigen untuk jaringan. Peningkatan kadar oksigen pada pembuluh darah vena akan mengakibatkan timbulnya warna kulit seperti “cherry-red”, tetapi tanda ini tidak selalu ada.



F. PENGOBATAN
Antidotum Sianida
Diklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama sesuai dengan mekanisme aksi utamanya, yaitu : detoksifikasi dengan sulfur untuk membentuk ion tiosianat yang lebih tidak toksik, pembentukan methemoglobin dan kombinasi langsung
Ø Pembentukan methemoglobin
Methemoglobin sengaja diproduksi untuk bersaing dengan sianida di tempat ikatan pada sistem sitokrom oksidase. Sianida mempunyai ikatan khusus dengan ion besi pada sistem sitrokrom oksidase, sianida dalam jumlah yang cukup besar akan berikatan dengan ion besi pada senyawa lain, seperti methemoglobin. Jika produksi methemoglobin cukup maka gejala keracunan sianida dapat teratasi. Methemoglobinemia dapat diproduksi dengan pemberian amil nitrit secara inhalasi dan kemudian pemberian natrium nitrit secara intravena. Kira-kira 30% methemoglobinemia dianggap optimum dan jumlahnya dijaga agar tetap di bawah 40% senyawa lain seperti 4-DMAP dapat memproduksi methemoglobin secara lebih cepat (Meredith, 1993).
Natrium nitrit. Merupakan obat yang paling sering digunakan untuk keracunan sianida.Nitrit menyebabkan methemoglobin dengan sianida membentuk substansi nontoksik sianmethemoglobin. Methemoglobin tidak mempunyai afinitas lebih tinggi pada sianida daripada sitokrom oksidase, tetapi lebih potensial menyebabkan methemoglobin daripada sitokrom oksidase (Meredith, 1993).
Sodium nitrit injeksi dan amil nitrit dalam bentuk ampul untuk inhalasi merupakan komponen dari antidot sianida. Kegunaan nitrit sebagai antidot sianida bekerja dalam dua cara, yaitu : nitrit mengoksidasi hemoglobin, yang kemudian akan mengikat sianida bebas, dan cara yang kedua yaitu meningkatkan detoksifikasi sianida endothelial dengan menghasilkan vasodilasi. Inhalasi dari satu ampul amil nitrit menghasilkan tingkat methemoglobin sekitar 5% (Olson, 2007).
Ø Detoksifikasi sulfur
Setelah methemoglobin dapat mengurangi gejala yang ditimbulkan pada keracunan sianida, sianida dapat diubah menjadi tiosianat dengan menggunakan natrium tiosulfat. Pada proses kedua membutuhkan donor sulfur agar rodanase dapat mengubah sianmethemoglobin menjadi tiosianat karena donor sulfur endogen biasanya terbatas. Ion tiosianat kemudian diekskresikan melalui ginjal (Meredith, 1993).
Sodium tiosulfat merupakan donor sulfur yang mengkonversi sianida menjadi bentuk yang lebih nontoksik, tiosianat, dengan enzyme sulfurtransferase, yaitu rhodanase. Tidak seperti nitrit, tiosianat merupakan senyawa nontoksik, dan dapat diberikan secara empiris pada keracunan sianida. Penelitian dengan hewan uji menunjukkan kemampuan sebagai antidot yang lebih baik bila dikombinasikan dengan hidroksokobalamin (Olson, 2007).
Rute utama detoksifikasi sianida dalam tubuh adalah mengubahnya menjadi tiosianat oleh rhodanase, walaupun sulfurtransferase yang lain, seperti beta-merkaptopiruvat sulfurtransferase, dapat juga digunakan. Reaksi ini memerlukan sumber sulfan sulfur, tetapi penyedia substansi ini tebatas. Keracunan sianida merupakan proses mitokondrial dan penyaluran intravena sulfur hanya akan masuk ke mitokondria secara perlahan. Natrium tiosulfat diasumsikan secara intrinsik nontoksik tetapi produk detoksifikasi yang dibentuk dari sianida, tiosianat dapat menyebabkan toksisitas pada pasien dengan kerusakan ginjal. Pemberian natrium tiosulfat 12.5 g i.v. biasanya diberikan secara empirik jika diagnosis tidak jelas (Meredith, 1993).




Ø Kombinasi langsung
Ada 2 macam mekanisme yang berbeda dari kombinasi langsung dengan sianida yang sering digunakan, yaitu kombinasi dengan senyawa kobalt dan kombinasi dengan hidroksobalamin (Meredith, 1993).
Hidroksikobalamin (vitamin B12a). Merupakan prekursor dari sianokobalamin (vitamin B12). Penggunaan hidroksikobalamin sebagai pencegahan pada pemberian natrium nitroprusid jangka panjang sama efektifnya untuk pengobatan pada keracunan sianida akut selama lebih dari 40 tahun. Senyawa ini bereaksi langsung dengan sianida dan tidak bereaksi dengan hemoglobin untuk membentuk methemoglobin (Meredith, 1993). Hidroksikobalamin bekerja baik pada celah intravaskular maupun di dalam sel untuk menyerang sianida. Hal ini berlawanan dengan methemoglobin yang hanya bekerja sebagai antidot pada celah vaskular. Pemberian natrium tiosulfat meningkatkan kemampuan hidroksikobalamin untuk mendetoksifikasi keracunan sianida (Meredith, 1993).
Sianokobalamin adalah kombinasi hidrosikobalamin dan sianida. Dosis minimal sebesar 2.5 gram pada dewasa diperlukan untuk menetralkan dosis letal sianida. Hidroksikobalamin tidak menimbulkan komplikasi yang serius. Beberapa pasien dapat mengalami urtikaria, tapi sangat jarang.
Dikobalt-EDTA. Bentuk garam dari kobalt bersifat efektif untuk mengikat sianida. Kobalt-EDTA lebih efektif sebagai antidot sianida dibandingkan dengan kombinasi nitrat-tiosulfat. Senyawa ini mengkelat sianida menjadi kobaltisianida. Efek samping dari dikobalt-EDTA adalah reaksi anafilaksis, yang dapat muncul sebagai urtikaria, angiodema pada wajah, leher, dan saluran nafas, dispnea, dan hipotensi. Dikobalt-EDTA juga dapat menyebabkan hipertensi dan dapat menyebabkan disritmia jika tidak ada sianida saat pemberian dikobalt-EDTA. Pemberian obat ini dapat menyebabkan kematian dan toksisitas berat dari kobalt terlihat setelah pasien sembuh dari keracunan sianida (Meredith, 1993).


DAFTAR PUSTAKA
Henry, J.A., H.M., Wiseman, 1997, Management of Poisoning : A handbook for health care workers, World Health Organization, Geneva
Meredith, T.J., 1993, Antidots for Poisoning by Cyanide, http://www.inchem.org/,     diakses pada 28 September 2007
Olson, K. R., 2007, Poisoning and Drug Overdose, 2nd edition, 145-147, Prentice-Hall International Inc., USA
Utama, Harry Wahyudhy, 2006, Keracunan Sianida, http://klikharry.wordpress.com/about/, diakses pada 28 September 2007
Nio, 1989, Zat-zat Toksik yang Secara Alamiah Ada pada Bahan Makanan Nabati, Cermin Dunia Kedokteran,
Donatus, I.A., 1997, Makalah Penanganan dan Pertolongan Pertama Keracunan Bahan Berbahaya, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Nita  dkk, Michael, Irma, Erni, Mulyati, Ridwan, 2005,  Toksikologi Forensik http://www.freewebs.com/toksikologiforensik/obat.htm, diakses pada 10 Desember 2008.
Purwandari R, 2006, Farmakologi-Toksikologi,
ILO (1991) "Fundamentals of Chemical Safety and Major Hazard Control".

Sabtu, 25 Maret 2017

efek sedatif pada mencit



PERCOBAAN V

                     EFEK SEDATIF

I. TUJUAN
Mempelajari pengaruh obat penekan susunan syaraf pusat

II. DASAR TEORI
Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan berkesinambungan serta terutama terdiri dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan internal dan stimulus eksternal dipantau dan diatur. Susunan saraf terdiri dari susunan saraf pusat dan susunan saraf tepi. Susunan saraf pusat terdiri dari otak (ensevalon) dan medula spinalis (sumsum tulang belakang) (Tim Penyusun. 2010: 68).
Susunan saraf pusat berkaitan dengan sistem saraf manusia yang merupakan suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Fungsi sistem saraf antara lain : mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat atau sentral dan sistem saraf tepi (SST). Pada sistem syaraf pusat, rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor, kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh perangsangan rasa sakit diotak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi emosional yang ditimbulkan rasa sakit tersebut. Sistem syaraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik, misalnya sedatif hipnotik. Obat yang dapat merangsang SSP disebut analeptika.
Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP), mulai yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan , hingga yang berat (kecuali benzodiazepine) yaitu hilangnya kesadaran, koma dan mati bergantung kepada dosis. Pada dosis terapi obat sedasi menekan aktifitas, menurunkan respons terhadap rangsangan dan menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis (H. Sarjono, Santoso dan Hadi R D., 1995). 

Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan syaraf pusat (SSP). Efeknya bergantung kepada dosis, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesia, koma dan mati.

Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktivitas mental, menurunkan respons terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.

Efek sedasi juga merupakan efek samping beberapa golongan obat lain yang tidak termasuk obat golongan depresab SSP. Walaupun obat tersebut memperkuat penekanan SSP, secara tersendiri obat tersebut memperlihatkan efek yang lebih spesifik pada dosis yang jauh lebih kecil daripada dosis yang dibutuhkan untuk mendepresi SSP secara umum.

Beberapa obat dalam golongan hipnotik dan sedatif, khususnya golongan benzodiazepin diindikasikan juga sebagai pelemas otot, antiepilepsi, antiansietas (anticemas), dan sebagai penginduksi anestesia.


Sedatif menekan reaksi terhadap perangsangan, terutama rangsangan emosi tanpa menimbulkan kantuk yang berat. Hipnotik menyebabkan tidur yang sulit dibangunkan disertai penurunan refleks hingga kadang-kadang kehilangan tonus otot (Djamhuri, 1995). 
Hipnotika dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu benzodiazepin, contohnya: flurazepam, lorazepam, temazepam, triazolam; barbiturat, contohnya: fenobarbital, tiopental, butobarbital; hipnotik sedatif lain, contohnya: kloralhidrat, etklorvinol, glutetimid, metiprilon, meprobamat; dan alkohol (Ganiswarna dkk, 1995). 
Obat -obat sedatif hipnotik memiliki efek farmakologi yang mirip dengan anestetik umum,jika obat obat tersebut diberikan dengan dosis yang lebih besar efeknya sama dengan anastesi umum. Kedua jenis obat tersebut mempunyai mekanisme yang sama dalam menekan susunan syaraf pusat (mayes,dkk 1974)
Obat obat penenang (antipsikotik) berbeda pengaruhnya dengan hipnotik sebab tidak menimbulkan efek anastetik . Sebai contoh klorpromasin, penekanya pada susunan syaraf pusat tidak begitu dalam sehingga hanya menimbulkan sedasi . Efek sedatif dapat mempengaruhi kemampuan koordinasi motorik hewan coba. Besar kecilnya pengaruh terhadap koordibasi motorik tersebut dapat menggambarkan besar kecilnya efek sedasi. Oleh sebab itu,efek sedasi ini akan diamati melalui eksperimen dengan binatang , menggunakan parameter rotarod ,daya cengkram ,reflek kornea , dan diameter pupil mata.
Fenobarbital
Fenobarbital, merupakan hablur atau serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa agak pahit.Sebagai antikonvulsi, fenobarbital digunakan dalam penanganan seizure tonik-klonik (grandmal) dan seizure parsial. Fenobarbital juga berkhasiat sebagai hipnotik sedasi tergantung dosis yang diberikan.
Klorpromazim
Chlorpromazine adalah obat yang termasuk golongan antipsikotik fenotiazina yang bekerja dengan menstabilkan senyawa alami otak. Obat ini dapat digunakan untuk menangani berbagai gangguan mental, seperti skizofrenia dan gangguan psikosis yang lainnya, perilaku agresif yang membahayakan pasien atau orang lain, kecemasan dan kegelisahan yang parah, serta autisme pada anak-anak.
Diazepam
  Diazepam termasuk kelompok obat benzodiazepine yang memengaruhi sistem saraf otak dan memberikan efek penenang. Obat ini digunakan untuk mengatasi serangan kecemasan, insomniakejang-kejang, gejala putus alkohol akut, serta sebagai obat bius untuk praoperasi
III. ALAT DAN BAHAN
1. ALAT
a. Alat suntik
2. BAHAN
a. Hewan uji
b. Phenobarbital
c. Klorpromazim
d. Diazepam
IV. CARA KERJA
1. Mencit (n=20) ditimbang,dan dibagi menjadi 4 keompok masing masin g 5 ekor. Sebelum pemberian obat , hewan diletakan diatas rotarod untuk adaptasi
2. Binatang diberi obat obat secara peroral :
Kelompok kontrol diberikan 0,9% gram fisiologis
Kelompok I : phenobarbital dosis 80mg/kgBB
Kelompok II : klorpromazim dosis 40 mg dan 100mg/kg BB
Kelompok III : diazepam dosis 20-50 mg/kgBB
3. Pada mencit ke 15 , 30, 60, dan 120 menit diletakan diatas rotarod selama 2 menit
4. Catatlah berapa kali mencit tersebut jatuh
5. Selama eksperimen berlangsung ,amati juga : reflek balik badan dan kornea , serta daya cengkram
6. Perhitungan potensi relatif obat diasarkan pada data rotarod, dengan membuat asumsi daya sedatif

V. PERHITUNGAN DOSIS
LARUTAN STOK SEDIAAN EFEK SEDATIF
*klorpromazim
100mg/kgBB x 35g = 3,5mg
Stok = 3,5mg
0,5ml
= 7mg/ml
=35mg/5ml
*diazepam
20mg/kgBBx 35g = 0,7mg
Stok = 0,7 mg
0,5 ml
 = 1,4mg/ml
 = 2,8mg/2mg

PERHITUNGAN
NO
BERAT MENCIT
JENIS PERLAKUAN
 WAKTU PEMBERIAN
1
35g
kontrol
10 : 50
2
30g
luminal
10 : 22
3
40g
Cpz 40mg
11 : 20
4
35g
Cpz 100mg
11:30
5
30g
diazepam
11:25

l LUMINAL
100mg/kgBB berat mencit 30g
Dosis = 80mg x 30g
1000g
  = 2,4mg
VP   = 2,4 mg
1000mg
  =0,024ml
Unit  = 0,024ml x100ml  = 2,4ml
1ml

l KLORPROMAZIM
1. 40mg/kgBB berat mencit 40g
Dosis = 40mg x 40g
1000g
VP   = 1,6mg  =0,22 ml
7mg/ml
Unit  = 0,22ml x 100 unit
1ml
  = 22 unit
2. 100mg/kgBB BB mencit 35g
Dosis = 100mg x 35g
1000g
 = 3,5mg
VP  = 3,5mg  =0,5 ml
         7 mg/ ml
Unit  = 0,5ml x 100 unit =50 ml
1ml
l DIAZEPAM
20 mg /kgBB BB mencit 30g
Dosis = 20mg  x 30g
1000g
         = 0,6 mg
VP   = 0,6 mg   = 0,428 ml
1,4mg/ml
Unit  = 0,428 ml x 100 unit
 1ml
  = 42,8 unit

DATA PENGAMATAN
Metode reflek balik badan dan korneanya
Asumsi daya cengkram
+ = sangat lemah
++ = lemah
+++ =sedang
++++ =kuat
+++++ =sangat kuat


HASIL PENGAMATAN
    Hasil pengamatan berdasarkan daya cengkram mencit akibat efek obat yang diberikan:
NO
Obat yang diberikan
Cengkraman
1
Kontrol negatif
+ + + + +
2
Luminal
+ +
3
Klorpromasin 40 mg
+ + +
4
Klorpromasin 100 mg
+ + + +
5
Diazepam
+


PEMBAHASAN
Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan saraf lainnya didalam tubuh biasanya bekerja dibawah kesadaran atau kemauan.
Dalam percobaan ini praktikan dapat memahami obat-obat apa saja yang merangsang atau bekerja pada sistem saraf pusat. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat terbagi menjadi obat depresan saraf pusat, yaitu anastetik umum (memblokir rasa sakit), hipnotik sedativ (menyebabkan tidur), psikotropik (menghilangkan rasa sakit), opioid. Analgetik – antipiretik – antiinflamasi dan perangsang susunan saraf pusat. Anastetik umum merupakan depresan SSP, dibedakan menjadi anastetik inhalasi yaitu anastetik gas, anastetik menguap dan anestetik menguap dan anestetik parental. Pada percobaan hewan dalam farmakologi yang digunakan hanya anastetik menguap dan anastetik parental.Obat yang digunakan pada percobaan ini yaitu, fenobarbital, diazepam,dan klorpromazim.
Mekanisme Kerja klorpromazim, Chlorpromazine merupakan obat antipsikotik turunan phenotiazine. Mekanisme kerjanya secara pasti tidak diketahui. Prinsip efek farmakologinya adalah sebagai psikotropik dan ia juga mempunyai efek sedatif dan anti-emetik. Chlorpromazine bekerja pada taraf susunan saraf pusat, terutama pada tingkat subkortikal maupun pada berbagai sistem organ. Chlorpromazine mempunyai efek anti-adrenergik kuat dan antikolinergik perifer lemah, serta efek penghambatan ganglion yang relatif lemah. Ia juga mempunyai efek antihistamin dan antiserotonin lemah.
Mekanisme Kerja Diazepam, Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang.
Mekanisme kerja Fenobarbital, Fenobarbital adalah antikonvulsan turunan barbiturat yang efektif dalam mengatasi epilepsi pada dosis subhipnotis. Mekanisme kerja menghambat kejang kemungkinan melibatkan potensiasi penghambatan sinaps melalui suatu kerja pada reseptor GABA, rekaman intrasel neuron korteks atau spinalis kordata mencit menunjukkan bahwa fenobarbital meningkatkan respons terhadap GABA yang diberikan secara iontoforetik. Efek ini telah teramati pada konsentrasi fenobarbital yang sesuai secara terapeutik. Analisis saluran tunggal pada out patch bagian luar yang diisolasi dari neuron spinalis kordata mencit menunjukkan bahwa fenobarbital meningkatkan arus yang diperantarai reseptor GABA dengan meningkatkan durasi ledakan arus yang diperantarai reseptor GABA tanpa merubah frekuensi ledakan. Pada kadar yang melebihi konsentrasi terapeutik, fenobarbital juga membatasi perangsangan berulang terus menerus, ini mendasari beberapa efek kejang fenobarbital pada konsentrasi yang lebih tinggi yang tercapai selama terapi status epileptikus.
Percobaan kali ini ingin diketahui bagaimana kerja dan efek suatu obat pada sistem saraf pusat. Mekanisme kerja dari anestetik umum adalah bahwa anestetik umum merupakan keadaan depresi umum yang sifatnya reversible dari banyak pusat SSP, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan yang agak mirip dengan pingsan.Anastetik umum ini digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan memblok reaksi serta menimbulkan relaksasi pada pembedahan.
Hewan yang digunakan dalam percobaan ini adalah mencit. Jumlah hewan percobaan yang digunakan adalah 4 ekor mencit. Masing-masing mencit menerima perlakuan yang berbeda-beda. Pada percobaan SSP ini, dilakukan perlakuan pada hewan coba efek sedatif. Obat sedatif yang digunakan pada praktikum kali ini adalah diazepam, chlorpromazine, luminal dan CMC-Na sebagai kontrol negatif.  Pembagian mencit yang digunakan adalah satu ekor mencit sebagai kontrol negatif (CMC-Na), satu ekor perlakuan obat diazepam, satu ekor perlakuan obat clorpromazim dengan dosis 40 mg, satu ekor perlakuan obat clorpromazim 100 mg dan satu ekor perlakuan obat luminal. Hewan coba mencit (Mus musculus) yang digunakan adalah yang berjenis kelamin jantan karena hormon hewan jantan lebih rendah dari pada hormon hewan betina sehingga memudahkan pada pengamatan efek dari perlakuan yang diberikan.
Alat yang digunakan untuk praktikum kali ini adalah kotak kaca untuk perlakuan, jaring besi dan spuit jarum tumpul untuk oral. Pada praktikum kali ini tidak menggunakan rotarod, dikarenakan keterbatasan alat sehingga metode diganti menjadi daya cengkraman dengan menggunakan jaring besi.
Sebelum diberikan obat, mencit ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat badan sehingga dapat menentukan dosis yang diberikan. Adapun berat mencit yang diperoleh adalah 35 g, 30 g, 40 g, 35 g dan 30 g. Setelah mencit ditimbang, kemudian dihitung disesuaikan dengan berat badan mencit tersebut.karena sediaan yang diberikan dalam bentuk suspensi dalam CMC-Na 0,5% sehingga stok sediaan dihitung berdasarkan dosis dengan berat mencit terbesar. Setelah diperoleh dosis berat mencit terbesar, kemudian dihitung volume pemberian masing-masing obat. hasil yang diperoleh dari VP masing-masing mencit 0,024 mL, 0,5 mL, 0,22 mL dan 0,428 mL. Pemberian masing-masing obat menggunakan sonde .Setelah semua bahan dan alat dipersiapkan, hewan uji diurutkan sesuai dengan urutan pemberian obatnya. Setelah posisi mencit sudah benar, barulah obat diberikan dengan hati-hati didalam mulutnya. Harus diperhatikan pula pemberian obatnya terutama pengambilan obat atau saat menyepuit obat dan pemberian pada hewan ujinya, karena kesalahan akan mempengaruhi hasil praktikum. Setelah semua obat selesai diberikan obatnya, kemudian ditunggu selam 1 jam hal ini setelah pemberian, kemudian baru dilakukan uji cengkeraman. Daya cengkeram diamati dengan meletakkan mencit diatas jaring besi. Nilai dari cengkeraman dibedakan menjadi 5 tingkat, yaitu : sangat kuat, kuat, sedang, lemah dan sangat lemah. Untuk memudahkan penilaian, dibuat asumsi cengkraman yang dilambangkan menjadi +++++, ++++, +++, ++ dan + (sangat kuat, kuat, sedang, lemah, sangat lemah).
Pada percobaan ini, untuk kontrol negatif dilakukan dengan pemberian CMC-Na tanpa diberikan obat. Hal ini bertujuan untuk membandingkan kebenaran dan keberhasilan dari praktikum ini. CMC-N a diberikan secara oral dengan sonde pada mencit pertama, kemudian dilihat perilaku mencit. pada kontrol negatif ini tidak menggunakan obat, sehingga mencit masihlah sangat aktif, setelah 1 jam kemudian mencit dilakukan uji cengkraman. Dari hasil uji cengkeraman yang dihasilkan sangatlah kuat karena mencit masih dalam keadaan sadar.
Pada obat luminal setelah pemberian obat selama 1 jam obat mulai bekerja, ditandai dengan perilaku mencit yang mulai berubah. Righting reflexnya sudah hilang, jalannya sempoyongan dan mulai tertidur. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa obat golongan barbiturat memiliki kerja lebih cepat dibandingkan dengan obat-obat golongan lain. Setelah 1 jam kemudian mencit diujikan daya cengkraman, hasilnya pada luminal daya cengkramannya adalah lemah ( + + ).
Pada obat clorpromazine, obat mulai bekerja yang ditandai dengan perilaku mencit yang sempoyongan, mudah terjatuh, dan mulai tidur. Klorpromazine yang digunakan pada praktikum kali ini ada 2 yaitu dengan dosis 40 mg dan 100 mg. Setelah perlakuan, mencit diuji cengkramannya dan diperoleh hasil 40 mg = +++ (sedang) dan 100 mg = ++++ (kuat).
Pada obat diazepam, obat mulai bekerja dimana mencit mulai kehilangan righting reflex, dan reflex balik badan yaitu apabila dibalik badannya tidak melawan. Setelah diperlakukan mencit dilakukan uji cengkraman dan diperoleh hasil + (sangat lemah).
Hasil-hasil tersebut belum sesuai dengan literatur, hal itu kemungkinan terjadi dikarenakan kesalahan-kesalahan praktikan diantaranya kesalahan pembuatan larutan stok, kesalahan pemberian obat, dan berbagai faktor lainnya.

VI . KESIMPULAN
Pada paktikum kali ini kita dapat menyimpulkan sebagai berikut diantaranya yaitu :
1.      Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur.
2.      Pada praktikum kali ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh obat penekan susunan syaraf pusat.
3.      Dari data pada kelompok di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian antara obat CTM dan diazepam itu efek yang paling kuat sedatifnya yaitu diazepam.
4.      Dari data ANNOVA, hasil yang diperoleh yaitu F hitung (14,29) > F tabel (5,14), Ho ditolak artinya ada perbedaan yang nyata antara perlakuan tanpa obat, ctm dan diazepam